CIANJUR, [10/03/2025] – Seorang pasien kritis di RSUD Cianjur diduga dipulangkan secara paksa meskipun kondisinya masih mengkhawatirkan. Keluarga pasien mengeluhkan buruknya pelayanan rumah sakit, termasuk minimnya tindakan medis, lambatnya penanganan, serta biaya perawatan yang dinilai tidak transparan.
Menurut keterangan keluarga, pasien mulai dirawat di RSUD Cianjur sejak 28 Februari 2025 dalam kondisi kritis. Namun, sebelum berangkat ke rumah sakit, keluarga harus mencari pinjaman sebesar Rp500.000 untuk membayar biaya ambulans. Pasien akhirnya tiba di RSUD Cianjur sekitar pukul 20.30 WIB dan langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD).
Saat mendaftar, keluarga membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) sebagai bukti bahwa mereka tidak mampu membayar biaya pengobatan. Namun, pihak rumah sakit menolak SKTM dengan alasan sudah tidak berlaku. Keluarga menjelaskan bahwa mereka sedang dalam proses pembuatan BPJS, tetapi tetap menghadapi penolakan.
Setelah menjalani proses pendaftaran yang berbelit, pasien akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Namun, menurut keluarga, pasien tidak mendapat pemeriksaan apa pun selama tiga hari pertama, kecuali pergantian infus. Pasien juga tidak diberikan obat dengan alasan BPJS belum aktif.
Pada hari keempat, seorang dokter bernama Dr. Masrin akhirnya datang memeriksa pasien. Namun, menurut keluarga, pemeriksaan yang dilakukan hanya sekilas. Dokter menyarankan pasien mengonsumsi makanan bergizi seperti telur rebus, tanpa adanya pemeriksaan lebih lanjut.
“Saya bingung, pasien dalam kondisi kritis, tetapi dokter hanya menyarankan makan telur rebus. Tidak ada tindakan medis yang jelas,” ujar salah satu anggota keluarga pasien.
Di hari kelima, perawat menyampaikan bahwa infus pasien tidak bisa diganti sebelum biaya dibayar. Saat keluarga kembali mempertanyakan status SKTM, dokter tetap bersikeras bahwa pasien harus membayar sebagai pasien umum.
Pada hari keenam, dokter menyatakan bahwa pasien sudah sembuh dan bisa dipulangkan. Keluarga terkejut karena pasien masih dalam kondisi kritis dan koma.
“Saya tidak habis pikir. Dokter bilang pasien sudah sehat, padahal kondisinya masih sangat buruk. Kami dipaksa membawa pulang pasien tanpa ada kepastian,” keluh keluarga pasien.
Selain itu, pihak rumah sakit juga tidak mengizinkan pasien pulang sebelum biaya perawatan sebesar Rp3.345.000 dibayar. Karena keterbatasan ekonomi, keluarga akhirnya mencari pinjaman sebesar Rp1.500.000 dan menyerahkan dua KTP sebagai jaminan agar pasien bisa dipulangkan.
Pasien akhirnya dibawa pulang pada 6 Maret 2025 pukul 07.30 WIB. Namun, sesampainya di rumah, kondisi pasien semakin memburuk. Keluarga yang tidak mampu membeli obat Fitabumin seharga Rp1.200.000 per botol akhirnya memilih merawat pasien di rumah sambil menunggu BPJS aktif.
Setelah mengalami pengalaman buruk ini, keluarga mengaku trauma dan enggan membawa pasien kembali ke RSUD Cianjur. Mereka juga mempertanyakan transparansi biaya yang harus dibayarkan, mengingat pasien tidak mendapatkan perawatan yang layak selama dirawat di rumah sakit.
“Kami kecewa dan trauma. Kami berharap tidak ada lagi pasien lain yang mengalami perlakuan seperti ini. Rumah sakit seharusnya mengutamakan keselamatan pasien, bukan hanya biaya perawatan,” ujar keluarga pasien.
Hingga berita ini ditulis, pihak RSUD Cianjur belum memberikan klarifikasi terkait keluhan tersebut.
(Ben)










